Cerita Sore Hari

Cerita ini ditulis di kamar kecil, dengan ditemani desir angin dari kipas angin yang paling sibuk di tembok. Suhu udara di luar sana sedang cukup membuat gerah, 31॰C. Langit di sana masih terang, matahari masih enggan untuk beristirahat.
Pelan-pelan, waktu berputar. Kenangan yang lalu datang, tidak menghantui, hanya bersinggah. Kembali pada kejadian-kejadian satu tahun lalu.

Bulan April, 2016.
Saat semuanya terasa lega sekaligus menegangkan. Saat semua beban seakan lepas. Saat harapan dan khayalan baru mulai meminta untuk dimunculkan. Saat pilihan satu-satunya terasa paling mantap.
Saat itu, ada kaki yang mengayuh pedal sepeda, masih tertatih. Tiap sore ada tawa, menjemput jingganya langit. Tak ada sepi, semua terasa benar. Terasa menyegarkan.
Saat masih ada mimpi yang berusaha digapai, ada harapan yang diyakini.
Saat ada kejutan yang indah, sang mimpi yang tergapai. Bukan mimpi jangka panjang, tapi ini batu tapakan yang baru untuk masa depan.
Bukankah itu menyenangkan?

Bulan April, 2017.
Selang satu tahun. Apakah masih terasa kejutan itu? Sayangnya, tidak. Menyedihkan, apa yang diimpikan, dielu-elukan, dipuji, dan diinginkan kini hanya menimbulkan pertanyaan.
Apa yang aku pikirkan dulu?
Apa ini yang benar-benar aku inginkan?
Inikah yang membuatku berkembang?
Aku kah yang salah, atau lingkungan, atau pilihan?
Semua terasa tidak benar. Terutama lingkungan, yang terpaksa menjadi kambing hitam. Tapi pecundang namanya jika harus terpukul mundur oleh keadaan. Bahkan yang baru dirasakan sekecap, seujung lidah. Tapi ada sisi lain yang meraung.
Apa ini yang kumau? Apa ini yang bermanfaat bagi sekitarku?
Sungguh, hal itu mengganggu.
Belum lagi pencitraan yang harus dipenuhi. Siapa yang akan tahan untuk menangis seharian? Bahkan, desir angin yang menemani air mata di malam hari terasa jauh lebih menyesakkan.
Orang bijak selalu berkata menjadi diri sendiri itu yang terbaik. Kali ini baru terasa betapa beratnya menjadi diri sendiri. Ketika "diri sendiri" itu berubah arti menjadi cemoohan orang, menjadi bahan gosip, menjadi contoh yang tidak baik.
Kalian yang membaca mungkin bertanya, seberapa rendahnya "diri sendiri" itu. Jawabannya, bukan "diri sediri" yang rendah, namun mereka yang menilainya terlalu sempit memakai nalarnya.
Ah ya, itu poinnya.
Jadi, apakah menjadi diri sendiri itu tetap pilihan yang terbaik? Jawabannya, YA 

Angin tetap berdesir, tak menyerah berusaha mengalahkan panas. Ini cerita sore hari ini, yang ditemani kipas angin dan suhu yang panas.


Surabaya, Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANTARA PERUBAHAN, PILIHAN, DAN KEHIDUPAN

UJIAN MENURUTKU

RASA